Totalitas Bangsa Dalam Usaha Hulu Migas
Oleh : Totok Siswantara
Oleh : Totok Siswantara
Langkah pemerintah yang menaikkan harga BBM sebesar 28,7 persen tidak sebanding dengan pergerakan harga minyak mentah dunia. Akibatnya sudah bisa ditebak, pemerintah terpaksa menaikkan kembali harga BBM beberapa bulan mendatang. Kabar yang lebih menyedihkan lagi, ternyata kinerja KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) dalam memproduksi migas banyak yang jeblok. Pada saat ini sebanyak 22 dari 75 kontraktor yang beroperasi mendapatkan rapor merah karena produksinya tidak mencapai target yang ditetapkan dalam APBNP 2008. Belum adanya totalitas bangsa ini dalam usaha hulu migas. Padahal, tantangan dan rintangan yang menghadang usaha eksplorasi dan eksploitasi migas relatif tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan rintangan yang dialami oleh negara lain, seperti contohnya China. Namun, bangsa China yang jumlah penduduknya sekitar 1,4 milliar jiwa dengan laju industrialisasinya yang pesat dan sangat “haus” energi ternyata bisa melakukan totalitas dalam usaha hulu migas. Buah dari totalitas itu antara lain kemampuan CNOOC ( China National Offshore Oil Corporation ) untuk mengakuisisi perusahaan minyak Amerika Serikat.
Totalitas bangsa China sepanjang jaman dalam usaha hulu migas terlihat di Museum Wang si Manusia Besi di kota Daqing. Wang Jinxisi manusia besi itu merupakan ikon sekaligus legenda bangsa China yang amat gigih dan berhasil melepaskan topi miskin minyak. Dalam museum itu tergambar semangat heroik teknisi perminyakan China yang sedang mengebor minyak. Antara lain pengeboran mandiri di gurun Siberia pada kedalaman 700 meter dalam kondisi alam yang sangat ganas. Legenda manusia besi yang terjadi pada zaman Mao itu sampai kini tetap menjadi pembangkit semangat nasional dan pendorong kemandirian teknologi perminyakan. Bahkan, Wen Jiabao Perdana Menteri China termasuk penggemar legenda Wang dan berkali-kali menandaskan bahwa jika kita menyatukan seluruh pipa yang telah ditancapkan oleh tim Wang ke perut bumi, maka tingginya bisa mencapai puncak gunung Everest.
Etos kerja dan kemandirian teknologi perminyakan China diatas sangat kontradiktif dengan kondisi di tanah air. Nampaknya bangsa Indonesia belum mati-matian dalam usaha hulu migas. Mentalitas dan semangat dalam usaha hulu migas pada saat ini masih serupa dengan kondisi tahun 1883-an. Dimana pada saat itu sumur minyak yang pertama kalinya di Indonesia yang bernama Telaga Said mulai dioperasikan. Kucuran minyak perdana dari sumur Telaga Said itulah awal terjadinya “kebebalan” suatu negeri dalam hal kontrak bagi hasil. Pada saat itu Sultan Langkat menggadaikan begitu saja konsesi ladang minyaknya kepada seorang pengusaha Belanda bernama AJ Zylker tanpa memperhatikan keuntungan yang berarti bagi kaum bumi putera. Sekarang ini rakyat sangat merindukan pemimpin bangsa yang mampu merubah secara signifikan sistem pengelolaan kekayaan migas dari perut ibu Pertiwi. Pemimpin yang berani merombak secara radikal sistem bagi hasil sehingga menguntungkan rakyat dan bangsanya. Jenis-jenis sistem bagi hasil yang berlaku saat ini yakni Production Sharing Contract ( PSC ), Technical Assistant Contract ( TAC ), Joint Operating Body ( JOB ), maupun Enhanced Oil Recovery Contract ( EORC ) semuanya mengandung unsur ketidak-adilan dan sarat dengan manipulasi.
Totalitas dalam usaha hulu migas juga menyangkut sistem akuntansi atau perhitungan ekonomi terhadap setiap tetes minyak yang disedot dari perut Ibu Pertiwi. Perlu dicatat bahwa sektor migas di Indonesia dari waktu ke waktu tidak pernah lepas dari kasus manipulasi, korupsi dan inefisiensi. Sejak rezim Orde Baru berkuasa sistem akuntansi migas penuh kejanggalan dan ketidakadilan. Meskipun nasi sudah menjadi bubur, tidak ada salahnya jika bangsa Indonesia mengkaji kembali sistem akuntansi migas yang adil dan tidak condong kepada kepentingan perusahaan asing. Sistem akuntansi migas sebagai basis lifting hingga saat ini dalam kondisi “plintat-plintut”. Oleh karenanya perlu diluruskan agar penerimaan negara dalam situasi krisis energi global tidak semakin digerogoti oleh mafia. Sistem akuntansi migas yang plintat-plintut itu menyebabkan lifting minyak selama ini kurang handal sebagai media yang dipakai untuk menghitung penerimaan dari KKKS. Biaya-biaya produksi hingga tahap penjualan menjadi semakin bias. Apalagi, setiap kontraktor memegang perjanjian yang berbeda-beda mengenai pos biaya bersama sebelum lifting. Implikasinya lain sumur lain pula perhitungannya. Adanya ketidakberesan dari akuntansi minyak yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah juga sering disuarakan oleh kalangan DPR. Namun, persoalan itu menguap begitu saja karena pemerintah tidak berdaya membongkar ketidakberesan itu.
Dengan alasan klise yakni karakter bisnis yang unik dan berisiko tinggi, perusahaan perminyakan selalu menuntut aturan tersendiri dalam menangani prosedur akuntansinya. Secara teoritis ada dua metoda akuntansi yang dikenal dalam usaha hulu migas. Yaitu metode Full Cost (FC) dan Successful Efforts (SE). Kedua metode itu dipengaruhi oleh konstrain biaya pokok yang terjadi pada perusahaan yang bergerak dalam bidang hulu migas. Biaya itu antara lain : Pertama, Lease Acquisition Costs atau biaya yang berhubungan dengan usaha untuk memperoleh wilayah kerja atau konsesi blok. Kedua, Exploration Cost atau biaya yang berhubungan dengan aktivitas eksplorasi, seperti tahap seismic dan exploration drilling. Ketiga, Development Cost atau biaya yang berhubungan dengan pengembangan lapangan yang sudah terbukti mengandung cadangan yang komersial ( menguntungkan ). Biaya tersebut meliputi development wells, wells completion, dan production facilities. Keempat, Operating Cost atau biaya yang berhubungan dengan aktivitas pengangkatan migas mulai dari sumur, sampai ke permukaan termasuk aktivitas proses pemisahan minyak dan aspek transportasinya. Faktor biaya-biaya tersebut lalu masuk ke metode akuntansinya, yakni metode SE atau FC. Prinsip dasar dari metoda S.E adalah semua pengeluaran biaya yang tidak memberi manfaat ekonomis dimasa yang akan datang harus dibebankan pada periode terjadinya biaya tersebut. Hal itu sesuai dengan teori dasar akuntansi. Dengan demikian, metoda SE akan membebaskan biaya pemboran eksplorasi apabila sumur tersebut dry hole pada periode tersebut. Jika pemboran sukses, maka biaya yang telah terjadi dapat dikapitalisasi atau dibebankan sejalan dengan waktu manfaat dari aset tersebut. Para pendukung metode ini menganggap bahwa hanya pengeluaran yang berhubungan dengan penemuan prospek migas yang dapat dikapitalisasi. Metode akuntansi yang kedua adalah Full Costing (FC) dengan prinsip bahwa semua biaya eksplorasi baik yang berhasil maupun kondisi dry hole harus dikapitalisasi secara total.
Ironisnya, aspek akuntansi PSC ( Production Sharing Contract ) di Indonesia memakai metode yang tidak sama dengan salah satu dari kedua metoda diatas. Metoda PSC terlihat seperti menu gado-gado, namun agak mirip dengan metoda SE. Perbedaannya adalah untuk sumur sukses, apakah itu sumur eksplorasi atau sumur pengembangan, metoda SE akan menganggap biaya tersebut dikapitalisasi. Sedangkan metoda PSC masih akan membagi lagi kedalam dua jenis biaya, yaitu biaya tangible dan biaya intangible. Untuk biaya tangible akan dikapitalisasi, sedangkan untuk biaya intangibe langsung akan dibebankan pada periode biaya tersebut dikeluarkan. Sebenarnya dalam metode PSC, biaya akuisisi tidak dapat di recover alias bukan termasuk cost recovery. Karena terjadinya kolusi tingkat tinggi, maka komponen biaya dalam PSC semakin bias. Komponen biaya semakin mudah dimanipulasi. Semua pihak mestinya menaruh perhatian serius terhadap laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang jelas-jelas telah mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam laporan keuangan BP Migas pada akhir 2007. Laporan itu juga mengungkap berbagai penyimpangan oleh kontraktor yang menyangkut klaim cost recovery. Dalam situasi gonjang-ganjing harga minyak dunia yang sangat menekan perekonomian bangsa, totalitas usaha hulu migas dari aspek kemandirian teknologi Migas hingga pelurusan akuntansi tidak bisa ditunda-tunda lagi. Jika tertunda tidak mustahil bangsa Indonesia akan terperosok kejurang kehancuran.
*) Dimuat di harian Pikiran Rakyat Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar